Seandainya Binatang Punya Akal…
Maha Besar Allah, yang memberikan akal hanya kepada manusia. Jika saja binatang dibekali akal, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan mereka perbuat sekarang.
Selama 100 hari pemerintahan etape kedua SBY, binatang kerap kali ‘dimunculkan’ dalam ruang sidang. Kita tentu tidak akan lupa dengan bentrok antara CICAK dan BUAYA, yang kemudian disusul GURITA, sampai akhirnya KERBAU pun ikut berperan serta dalam membuat SBY dan koleganya kalang-kabut. Saya mencatat ada dua hal yang patut dipelajari dari munculnya empat binatang di kancah politik Indonesia.
Pertama, ternyata manusia – dengan akalnya – sering membuat stereotype, bahkan untuk makhluk yang bukan dari dunianya. Lihat saja. CICAK dimaknai sebagai seekor binatang kecil tak berguna, dan dipastikan akan kalah dari BUAYA yang dipotret sebagai binatang buas yang garang, yang bisa memangsa siapapun di depannya. GURITA pun dimunculkan untuk mewakili sifat rakus dan tamak. Terakhir, KERBAU dianggap sebagai makhluk yang gembrot, lambat, dan bodoh. Luar biasa. Keempat binatang ini diposisikan seolah-olah tidak memiliki nilai positif sedikitpun.
Sekecil apapun, CICAK selalu memiliki peran dalam menjaga ekosistem kehidupan manusia. Bersama binatang lain, ia memangsa serangga yang jika populasinya terlalu banyak pasti akan mengganggu kehidupan manusia. Bahkan dalam kepercayaan Hindu, CICAK dipercaya sebagai manifestasi Dewi Saraswati, dewi pelindung komunikasi lisan dan tulisan. Sebuas apapun, BUAYA juga memberi manfaat yang tidak kecil untuk manusia. Sampai sekarang, saya belum mampu membelikan istri saya tas hitam dari kulit buaya. BUAYA jelas memberi manfaat untuk kita, manusia. GURITA pun demikian. Binatang dengan delapan tangan ini bukan tidak mempunyai manfaat. Di Jepang, ia merupakan bahan favorit untuk membuat sushi. Binatang ini ternyata mengandung kalori tinggi, vitamin B-3, Vitamin B-12, dan fosfor. Terakhir, semua pasti paham bahwa KERBAU adalah binatang pekerja keras. Dia-lah yang dulu rajin membantu para petani padi membajak sawah, sejak matahari belum terbit sampai terbenam di ufuk barat. Bahkan kotorannya menjadi pupuk bernilai tinggi.
Pendeknya, kita harus ingat bahwa TUHAN menciptakan makhluknya bukan tanpa tujuan. Tak satupun makhluk-NYA di dunia ini yang hidup sia-sia, tanpa memberi manfaat.
Kedua, saluran komunikasi antar elit politik kita sepertinya sudah banyak yang buntu, sampai-sampai personifikasi binatang pun harus dilakukan. Seandainya para pimpinan negeri ini dapat duduk bersama, melepaskan sekat egoisme individu maupun partai; niscaya jalan keluar dari masalah-masalah sepelik apapun akan tampak benderang. Mereka adalah tokoh-tokoh cerdas. Tetapi, kecerdasan mereka seolah tertutup oleh keinginan untuk membentengi diri dan menjatuhkan lawan politik. Dari barbagai tayangan talk-show dan politainment di berbagai stasiun TV, kita melihat betapa mereka menggunakan kemampuan retorikanya untuk saling menjatuhkan, bukan mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan. Berbagai cara pun dilakukan: dari umpatan hingga ancaman. Luar biasa. Kalau saja kaum binatang dapat menikmati talk-show dan politainment di TV, mungkin mereka akan tersenyum, mencibir tingkah laku kita.
Apa sudah saatnya manusia belajar dari binatang? Lihat bagaimana lebah akan bersama-sama menyerang, jika mereka diganggu. Lihat bagaimana semut selalu bertegur sapa dengan sesamanya bila bertemu, dan selalu meninggalkan jejak supaya temannya tahu tempat mencari makan.