Pemilihan Kode Pada Anak
Kode: SOS
Pemilihan Kode pada Anak
(Sebuah Studi Kasus pada Dira)[1]
Agus Dwi Priyanto
Jurusan Sastra Inggris, Universitas Sebelas Maret
Abstrak
Paper ini mengupas hasil observasi pada seorang anak mengenai pemilihan kode ketika ia berinteraksi dengan orang lain. Subjek pada observasi ini adalah seorang anak perempuan berusia empat tahun, yang belum sepenuhnya bilingual. Ia memperoleh kemampuan berbahasa dari lingkungannya. Bersama orang tuanya, ia berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan dengan temannya, ia lebih banyak menggunakan bahasa Jawa (ngoko). Selain itu, ketika ia tinggal di Melbourne selama hampir tujuh bulan (Mei – Desember 2005), ia mendapatkan kemampuan dasar berinteraksi menggunakan bahasa Inggris melalui interaksinya dengan orang tua, teman-temannya di tempat penitipan anak (child-care). Selain itu, ia juga mendapatkan exposure dari siaran televisi, permainan di komputer (computer game), dan cerita yang dibacakan ayah atau ibunya sebelum tidur.
Bahasan pada paper ini difokuskan pada bagaimana ia memilih kode ketika berinteraksi dengan orang lain setelah ia kembali dari Melbourne dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Hasil observasi menunjukkan bahwa ketika berinteraksi di dalam rumah (dengan orang tuanya), ia sering melakukan campur kode dari ketiga bahasa tersebut. Si anak akan menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa yang sudah ia kuasai, dan mencampurnya dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa ketika ia mengalami kesulitan dalam bahasa Inggris. Secara umum, ia cenderung menggunakan bahasa Inggris terutama untuk meminta barang maupun layanan dari orang tuanya. Dengan temannya, secara spontan ia masih menggunakan bahasa Inggris. Ketika ia tahu bahwa lawan tuturnya tidak memahami tuturannya, ia kemudian mencari padanan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Pada beberapa situasi, ia tampak berhati-hati sekali dalam pemilihan kodenya. Sebelum bertutur, tampak ia berfikir untuk mencari ungkapan yang dapat dimengerti oleh lawan tuturnya.
PENDAHULUAN
Pada masyarakat bilingual, penutur sering dihadapkan pada situasi yang mengharuskan ia menentukan pilihan bahasa (kode) yang akan digunakan. Kajian tentang pemilihan kode selama ini banyak difokuskan pada penutur dewasa (Bain & Yu, 2000; Myers-Scotton, 1999). Begitu pula literatur sosiolinguistik lainnya (Holmes, 1999; Wardaugh, 1990). Kajian-kajian tersebut pada umumnya menyatakan bahwa alih kode dan campur kode lebih banyak dilakukan oleh penutur yang sudah menguasai dua bahasa.
Untuk melengkapi kajian mengenai pemilihan kode, paper ini menyajikan hasil observasi pada seorang anak perempuan, khususnya pada bagaimana ia memilih kode dalam berinteraksi dalam ranah keluarga. Keunikan kajian pada paper ini terletak pada subjek observasi yang belum sepenuhnya bilingual. Artinya, si anak masih dalam tahap pemerolehan dan pengembangan kemampuan bahasanya, baik bahasa Indonesia, Jawa (ngoko), maupun bahasa Inggrisnya. Lebih dari itu, pemerolehan ketiga bahasa ini tidak dilakukan melalui proses pembelajaran yang formal, tetapi melalui interaksi-interaksi pada kehidupan sehari-hari.
SUBJEK OBSERVASI
Subjek pada observasi ini adalah Dira. Pada saat observasi dilakukan, anak perempuan ini berusia empat tahun lima bulan. Sejak kecil, ia dibiasakan berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia ragam informal. Sejak berusia tiga tahun, ia mulai mengenal Bahasa Jawa Ngoko ketika ia mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayanya di luar rumah. Lalu, ketika ia tinggal di Melbourne, Australia selama tujuh bulan (Mei – Desember 2005), Dira mulai mengenal Bahasa Inggris, terutama ketika ia berinteraksi dengan temannya di child care, menonton acara televisi (ABC Kids), dan mendengarkan cerita sebelum tidur yang dibacakan ayah atau ibunya. Selain itu, ayahnya pun mulai sering mengajaknya berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Kebiasaan menggunakan bahasa Inggris dengan ayahnya ini masih bertahan hingga ia kembali tinggal di Melbourne. Dengan ibunya, Dira lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Begitu pula dengan teman-temannya, ia lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, kadang-kadang bercampur dengan Bahasa Jawa Ngoko.
Diantara ketiga bahasa tersebut, yang paling dikuasai Dira adalah Bahasa Indonesia, disusul bahasa Jawa Ngoko, dan Bahasa Inggris. Namun demikian, secara umum tingkat kemampuannya dalam ketiga bahasa ini dapat dikategorikan pada tingkat dasar.
METODOLOGI
Untuk keperluan observasi ini, dilakukan beberapa perekaman. Rekaman ini tidak dijadwalkan, tergantung pada aktivitas Dira. Untuk melengkapi data dari rekaman audio ini, saya juga membuat beberapa catatan, terutama mengenai konteks ketika Dira melakukan campur atau alih kode. Perekaman data ini dilakukan kurang lebih selama dua minggu, 19 – 31 Desember 2005.
KAJIAN PUSTAKA
Seperti banyak dipahami, pemilihan kode banyak dipengaruhi oleh faktor sosial yang diantaranya meliputi karakteristik partisipan, kemampuan linguistik partisipan, konteks social, fungsi, dan topic percakapan. Holmes (1999) menambahkan beberapa faktor lain yang juga berperan dalam pemilihan kode, yaitu jarak/hubungan sosial antar partisipan, status, peran sosial, dan formalitas suasana.
Terkait dengan pemilihan kode ini, ada dua istilah penting yaitu campur kode dan alih kode. Campur kode dapat didefinisikan sebagai sebuah fenomena ketika sebuah kata atau ujaran dari suatu bahasa digunakan bersamaan dengan sekelompok kata yang strukturnya merupakan struktur bahasa lain. Tetapi, jika dua kalimat lengkap dari kedua bahasa itu diungkapkan bergantian, fenomena ini disebut alih kode (Wardaugh, 1990).
Sebuah kajian lain tentang pemilihan kode pada anak menunjukkan bahwa unsur sintaksis yang paling banyak muncul pada alih atau campur kode adalah nomina pada posisi subyek dan obyek, diikuti frase verba, frase preposisi, adverba, dan ajektiva. Ini menunjukkan bahwa campur kode paling sering terjadi pada penggunaan kata (Brice & Anderson, 1999).
Sementara itu, Dolitsky (2000) mengidentikasi bahwa pemilihan kode pada anak yang sedang membuat monolog lebih banyak dipengaruhi oleh preferensi pribadinya daripada oleh faktor sosial seperti adaptasi dengan interlokutor. Dolitsky juga menyimpulkan bahwa alih kode memiliki tujuan identifikasi dan komunikasi. Artinya, ketika penutur dan interlokutor lain tidak perlu menegosiasikan identitas masing-masing, alih kode jarang terjadi. Temuan yang juga menarik adalah bahwa anak bilingual akan menggunakan kata-kata pinjaman dari bahasa lain karena ia menganggap bahwa kata atau leksis itu bagian integral dari bahasa yang digunakannya.
Secara spesifik, Reyes (2004) melakukan studi tentang alih kode pada anak usia sekolah. Ia menyimpulkan bahwa dalam berinteraksi dengan temannya, anak akan memilih bahasa yang sudah dimengerti kedua belah pihak. Selain itu, anak yang memiliki kompetensi komunikasi lebih tinggi akan lebih sering melakukan alih kode. Ditekankan di sini bahwa alih kode merupakan bukti bahwa si anak memiliki kemampuan yang tinggi di kedua bahasa itu. Simpulan lain dari studi ini menyatakan bahwa anak juga memiliki sensifitas terhadap kemampuan berbahasa yang dimiliki lawan bicaranya. Karena itu, ia juga beralih kode untuk menyesuaikan.
TEMUAN-TEMUAN
Bahasan tentang temuan-temuan pada observasi yang dilakukan pada Dira ini difokuskan pada situasi-situasi yang mempengaruhi Dira dalam memilih kode yang akan digunakan. Beberapa temuan mendukung temuan kajian terdahulu, tetapi ada juga temuan yang tidak senada dengan hasil kajian lain.
Secara umum, alih kode dan campur kode yang dilakukan Dira pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan alih dan campur kode pada orang dewasa. Pertama, proses pemilihan kode yang dilakukan Dira juga banyak dipengaruhi oleh faktor sosial, terutama lawan bicara. Ini menjunjukkan bahwa kompetensi komunikasi yang dimiliki Dira sudah memungkinkan untuk menentukan pilihan kode yang akan digunakannya. Kedua, Dira mencampur kode karena ia menganggap bahwa leksis yang dipakainya adalah bagian integral bahasa yang digunakannya. Ketiga, dalam beberapa kasus, Dira mencampur kode karena ia tidak mampu secara cepat mendapatkan leksis yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakannya. Berikutnya, Dira akan beralih kode karena alasan-alasan afektif. Misalnya, ketika ia berebut mainan dengan temannya, ia lebih banyak berteriak “No..! No..!”. Begitu pula ketika ia meminta sesuatu dari ayahnya, ia cenderung menggunakan Bahasa Inggris, walaupun ketika ia waktu itu sedang bercakap-cakap dengan ibunya dalam Bahasa Indonesia.
Seperti yang terjadi pada penutur dewasa, faktor sosial berperan besar dalam alih kode dan campur kode yang dilakukan Dira. Faktor sosial yang paling besar mempengaruhi pemilihan kode Dira adalah faktor lawan bicara (addressee). Misalnya, Dira akan beralih kode ketika ia bicara pada orang yang dianggapnya tidak bisa berbahasa yang sedang digunakannya. Ketika ia sedang bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris bersama ayahnya, misalnya, ia akan beralih ke Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa jika ada temannya datang. Misalnya:
Contoh 1: Di rumah, Dira sedang bermain dengan Farel. Ayahnya mengajaknya pergi.
Ayah : Dira, are you going with me or not?
Dira : Yes…yes…yes. Where are you going?
Ayah : Photocopy.
Dira : Yeeee…
(pada Farel, temannya) Rel, aku mau pergi. Kamu nggak usah ikut.
Perlu juga dikemukakan di sini bahwa Dira lebih sering melakukan campur kode dalam suasana informal, dan jika ia sudah mengenali partisipan lainnya. Ketika ada tamu ayahnya, misalnya, ia tetap berusaha konsisten menggunakan bahasa Indonesia.
Kedua, kadang-kadang Dira menggunakan leksis yang ia anggap termasuk bahasa yang sedang ia gunakan walaupun sebenarnya merupakan leksis bahasa lain. Kasus seperti ini sering didapati terutama pada leksis nomina. Ada beberapa nomina dalam bahasa Inggris yang oleh Dira dianggap leksis Bahasa Indonesia. Temuan ini senada dengan hasil kajian Brice dan Anderson (1999) dan Dolitsky (2000). Kemungkinan, ini karena Dira lebih dahulu memperoleh leksis dalam bahasa itu daripada bahasa yang lain. Pada contoh di bawah ini, misalnya, Dira lebih dulu memperoleh leksis frog daripada “katak” atau “kodok”, karena sebelum ia ikut orang tuanya ke Melbourne, ia belum pernah melihat seekor katak. Konsep “katak” ia peroleh dari acara TV di Melbourne yang langsung mengenalkannya dengan sebutan “frog”.
Contoh 2: Dira sedang bermain sendiri, melompat-lompat.
Ibu : Dira, kamu lagi ngapain?
Dira : Bouncing. Ini kan frog.
Ibu : Woo… Mamah punya anak frog?
Dira : Frog itu bahasa Inggrisnya apa?
Ibu : Frog itu ya Bahasa Inggris. Bahasa Indonesianya kodok.
Dialog di atas menunjukkan bahwa kadang-kadang, Dira tidak tahu batas-batas bahasa yang ia pakai. Dira tahunya “frog” adalah leksis bahasa Indonesia. Karena itu, ia menggunakan leksis ini dalam ujaran bahasa Indonesia, seolah-olah “frog” adalah bahasa Indonesia. Ini bisa dilihat dari ujaran berikutnya yang menanyakan leksis bahasa Inggris untuk “frog”. Bukti bahwa Dira masih bingung dengan konsep dua jenis bahasa yang berbeda adalah ketika ia masih di child care. Waktu itu, ia senang sekali dan mengatakan bahwa gurunya sudah bisa berbahasa Indonesia. Padahal, yang terjadi adalah mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris, tetapi Dira tidak tahu bahwa yang diucapkannya adalah bahasa Inggris.
Selain leksis nomina, Dira juga masih kesulitan membedakan kode adjektiva, terutama menyebutkan warna.
Terkait dengan fenomena diatas, pada beberapa kasus lain, Dira akan menggunakan leksis tertentu dari bahasa lain karena ia tidak mampu dengan cepat mendapatkan leksis yang tepat dalam bahasa yang sedang digunakannya. Ini menujukkan bahwa alih kode atau campur kode tidak selalu dilakukan oleh penutur dengan kemampuan linguistik yang tinggi, seperti hasil kajian Reyes (2004). Anak yang masing mengembangkan kemampuan bilingualnya pun dapat melakukan alih kode. Artinya, “ketidak-mampuan” inilah yang menyebabkan ia beralih atau mencampur kode.
Contoh 3: Ayah baru pulang dan membawa bingkisan, ketika Dira sedang makan siang bersama ibunya.
Dira : Pah. Aku makan sendiri lho, nggak disuapin mamah.
Ayah : Bagus itu. (Dira pergi ke dapur).
Ayah : Dira… (mengeluarkan bungkusan makanan ringan dari tas).
Dira : (menghampiri ayah) Wow… What is that?
Ayah : Open it.
Dira : (Membuka bungkusan). Wow. Roti. Cheese. Aku seneng roti cheese.
Ibu : Cheese itu bahasa Indonesianya apa?
Dira : Mmmm… (berfikir sejenak). Apa itu… Keju.
Kasus lain yang menarik adalah ketika Dira beralih atau mencampur kode karena alasan afektif. Kadang-kadang ia tidak peduli lawan bicaranya. Misalnya:
Contoh 4: Dira sedang bermain dengan Dita, temannya, lalu tiba-tiba berebut mainan. Sebelum dialog ini, mereka bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.
Dita : (mengambil boneka di dekat Dira). Aku minjem ya…
Dira : No! (sambil merebut boneka dari tangan Dita).
Dita : Minjem, sebentar.
Dira : No! That’s mine (mereka saling berebut)
Dita : Lha iya. Ayo main bareng.
Pada dialog di atas, tampak bahwa sebenarnya Dita tidak memahami makna ujaran Dira. Dia hanya tahu bahwa Dira menolak permintaannya. Begitu pula dengan Dira, ia memilih menggunakan bahasa Inggris untuk menolak permintaan Dita, walaupun ia tahu Dita tidak bisa berbahasa Inggris. Ini karena Dira lebih akrab dengan ujaran bahasa Inggris. Dita tidak perlu tahu makna leksikal dari ujaran Dira, tetapi ia bisa menebak dari ungkapan non-verbal lainnya.
Contoh berikut ini memberi ilustrasi lain tentang alasan afektif pada pilihan kode Dira.
Contoh 5: Dira sedang belajar mewarnai gambar bersama ibunya. Lalu ia ingin bermain di komputer.
Dira : Mah, aku pengin main “Bob the Builder”.
Ibu : Ya bilang Papah…
Dira : (pada ayah) Dad, can I play “Bob the Builder”, please? Please…
Pada dialog di atas, Dira tahu persis ayahnya bisa berbahasa Indonesia. Tetapi, ia memilih menggunakan bahasa Inggris karena ia berharap ayahnya akan senang, dan mengijinkannya bermain komputer. Harapan Dira ini mungkin beralasan karena selama ini, ayahnya-lah yang paling sering mengajaknya berbahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa reward juga berpengaruh pada proses pemilihan kode.
SIMPULAN
Simpulan awal yang dapat ditarik dari observasi singkat ini adalah bahwa anak yang masih mengembangkan kemampuan bilingualnya juga dapat melakukan alih atau campur kode. Dalam kondisi seperti ini, alih kode atau campur kode yang terjadi selain disebabkan oleh faktor-faktor sosial, juga disebabkan oleh keterbatasan kemampuan linguistik dan alasan-alasan yang bersifat afektif. Artinya, alih kode dan campur kode ini tidak hanya monopoli penutur dewasa yang memiliki kemampuan berbahasa tingkat tinggi. Senada dengan Brice dan Anderson (1999), alih kode atau campur kode semacam ini seharusnya tidak dianggap sebagai kelemahan si penutur, apalagi ia masih anak-anak yang sedang mengembangkan kemampuan berbahasa dan komunikasinya. Sebaliknya, si anak perlu dituntun agar segera memahami cara berkomunikasi dalam situasi yang berbeda-beda. Alih kode dan campur kode semacam ini justru dapat membantu proses pemerolehan dan pengembangan kemampuan kebahasaaan anak
REFERENSI
Bain, B., & Yu, A. (2000). Toward a fuller appreciation of codeswitching. Journal of Pragmatics, 32, 1405-1411.
Brice, A., & Anderson, R. (1999). Code mixing in a young bilingual child. Communication Disorders Quarterly, 21(1), 17-22.
Dolitsky, M. (2000). Codeswitching in a child’s monologues. Journal of Pragmatics, 32, 1387-1403.
Holmes, J. (1999). An introduction to sociolinguistics. London: Longman.
Myers-Scotton, C. (1999). Explaining the role of norms and rationality in codeswitching. Journal of Pragmatics, 32, 1259-1271.
Reyes, I. (2004). Function of code switching in schoolchildren’s conversation. Bilingual Research Journal, 28(1), 77-98.
Wardaugh, R. (1990). An introduction to sociolinguistics. New York: Blackwell.
[1] Disampaikan pada Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya (Kolita 4) Tingkat Internasional pada tanggal 15 – 16 Februari 2006 di Universitas Atma Jaya, Jakarta