Demo tanpa Pengeras Suara

Tampaknya, pimpinan negeri ini sedang jutek, pusiiing, bete. They are stuck at the dead end. Akhirnya, keputusan-keputusan yang diambil pun tidak berjangka panjang, sekedar memenuhi nafsu kepuasan sesaat, serba instan. Kita tidak perlu ngonceki lagi apa saja kebijakan-kebijakan semacam itu, nanti malah harus scroll berkali-kali baru selesai bacanya. Yang terakhir saja: demonstran ga boleh pake pengeras suara. Gara-garanya: SBY terganggu oleh demonstran di halaman istana beberapa waktu lalu. Untung saja kita sudah punya UU yang mengatur cara penyampaian pendapat di muka umum. Kalo belum, bisa jadi seluruh bentuk demonstrasi dilarang juga.

Terganggunya SBY ini langsung ditindaklanjuti aparatnya. Mobil pengeras suara demonstran disandera polisi. Rebutan, saling dorong, ricuh. Masalah tidak selesai. Demonstran bawa mobil lain. Disita lagi… Datang lagi… disita lagi.. Lhah… lama-lama gudang istana penuh TOA no ya…

SBY ternyata lebih merasa terganggu oleh pengeras suara demonstran yang hanya sesekali nyasar ke telinganya. SBY belum mampu mendengar jeritan kaumnya yang bahkan sudah diperkeras dengan 4 TOA (ke seluruh penjuru arah) sekalipun. SBY tidak mau tahu kenapa mereka sampai teriak-teriak sampai ke istana. SBY lupa, komunikasi yang terbangun selama ini dengan rakyatnya baru berjalan satu arah… darinya ke bawah, ke rakyat. Arah sebaliknya masih verbodden. Jalur-jalurnya macet, buntu. DPR lebih banyak mewakili partainya. Kalaupun mewakili rakyat, yang terwakili hanya kemakmurannya saja (rakyat tidak perlu makmur dan sejahtera, karena sudah terwakili oleh para anggota DPR..!). Media? Ah.. ga jamin juga. Banyak tokoh pemerintah atau pendukungnya yang jadi nahkoda kapal media. Agak keras dikit aja, disomasi, disidang; ga pake fasilitas hak jawab. Intinya, tidak tersedia jalur yang cukup untuk mengembalikan informasi dari pimpinan negeri ini.

Anak saya selalu mbengok ketika ada sesuatu yang mengganggunya. Karena itu cara survivalnya. Dia akan mbengok lebih keras, ketika teriakan pertamanya tidak membuahkan hasil. Tapi, ketika dia nyaman, tidak ada sesuatu yang membuatnya merasa terancam, ya… asik aja. Ga perlu teriak-teriak. Kalaupun teriak, ya teriakan rasa senang, excitement. Mestinya SBY sadar, demonstran tidak akan bersuara keras ketika suaranya didengar, lalu ditanggapi, dicarikan jalan keluar, walaupun tidak selalu harus di-approved. Anak saya pun akan berhenti menangis, setelah tahu permintaannya tidak dapat dipenuhi saat itu juga, tentu dengan alasan yang dapat diterimanya. Memang, ngurus negara, ngurus 200 juta orang tidak sama dengan ngurus satu anak seperti saya. Tetapi, yang saya yakini adalah once they are accommodated, they will feel comfortable. SBY akan lebih sering mendengar excitement scream.

Kaum pekerja selama ini memang tidak tenteram, apalagi kalo mendekati habisnya masa kontrak. Perusahaan lebih senang rekrut pegawai baru dengan gaji rendah, daripada memperpanjang kontrak pegawai lama karena harus menaikkan upah sesuai bertambahnya masa kerja. SKB tiga menteri mereka anggap mengancam keberlangsungan kerja (hidupnya). Sekali lagi, ya… ini anggapan mereka, yang bisa jadi karena pemahaman mereka atas SKB itu memang belum komprehensif. Artinya, perlu disadarkan bahwa SKB itu tidak membahayakan. Once they are informed and advised, they will feel comfortable. Ga perlu teriak-teriak.

Ya… kenapa mereka sampai rame-rame datang ke istana jauh lebih penting daripada pengeras suara.

Mungkin abis ini Permadi akan kebanjiran siswa kursus kebatinan… J.

Salam…